SEBUAH JAWABAN

Aku terus berjalan dan pandanganku lurus kedepan. Pikiranku kosong, semuanya aku lewati begitu saja. Tidak ada yang dapat menarik perhatianku. Hingga akhirnya, kakiku tidak mau melangkah lagi. Sulit bagiku melangkahkan kakiku. Aku tersentak kaget, melihatnya. Gak seharusnya aku melihatnya. Kakiku semakin tidak mau melangkah. Kurasakan kakiku mulai mati rasa. Aku perhatikan setiap langkahnya. Semakin jauh dariku. Tapi, kakiku tidak juga mau melangkah. Ingin rasanya, aku mengikutinya. Ingin rasanya, aku mengetahui kegiatan sehari-harinya. Dia adalah Ibuku. Ibu yang tidak mau mengakuiku. Bahkan, dia tidak tahu aku ini anaknya. Setiap kali aku ketemu dengannya. Kakiku seperti mati rasa. Tidak bisa digerakkan sama sekali. Aku tidak bisa benci padanya. Malah, aku ingin dia tahu aku ini anaknya. Aku ingin memanggilnya Ibu. Ingin rasanya aku memeluknya. Dari aku lahir, aku tidak pernah merasakan pelukannya, kehangatannya, kasih sayangnya. Aku ingin sekali merasakan punya ibu. Ibu yang selalu setia mendengarkan semua keluh kesahku. Tapi, sayang. Kakiku tidak mau digerakkan ketika aku ketemu dengannya.

******

Hari-hariku, aku lalui di Panti Asuhan. Rumah bagiku dan anak-anak yang lain yang hampir sama nasibnya denganku. Terkadang aku selalu bertanya, “kenapa Ibu tidak mengakuiku. Mengakui aku sebagai anaknya. Lalu, siapa Ayahku?. Kenapa ibu panti tidak pernah menceritakan ayahku. Apa salahku ya,Allah?”. Aku terus-terus bertanya. Tapi, percuma.. Allah juga belum memberikan jawabannya kepadaku. Ibu panti juga tidak tahu. Yang ia tahu Cuma keberadaan ibuku dan ibu panti juga enggan memberitahuku alasan ibu tidak mengakuiku. Pilu kurasakan hati ini.

Aku tersentak dari lamunanku. Ketika temanku, mengagetkanku. “semalam ayam tetangga mati,loh!, karena pembantunya melamun”, canda temanku. Tapi, aku tidak menanggapinya. Aku hanya tersenyum. Dia adalah teman baikku. Nasibnya lebih buruk dariku. Dia tidak mengenal orang tuanya. Bahkan, ibu panti juga tidak mengenal orang tuanya. Karena dia didapat ibu panti di tong sampah. Bagaimana bisa seorang ibu membuang anaknya sendiri seperti itu?. ingin rasanya aku menanyakan hal itu . Tapi, dia tidak sepertiku. Dia anak yang tambah dan ikhlas menerima semuanya. Ingin rasanya, aku seperti dia. Menjadi tambah dan ikhlas dengan semuanya. Pikiran aku saat ini begitu kacau.

“Aku tidak marah sama ibu. Aku malah ingin dia tau kalau aku ini anaknya. Tapi, kenapa?.... kenapa ibu tidak mau mengakuiku. Siapa Ayahku?.. siapa?..”, dan tanpa sadar, air mataku mulai mengalir. Temanku hanya tersenyum dan kemudian mengatakan,”aku tau perasaanmu. Kita semua di sini mengalami hal yang sama. Suatu saat nanti. Pasti pertanyaan itu terjawab. Aku yakin. Tinggal menunggu waktu aja”. Mendengar kata-kata itu membuatku merasa, aku tidak sendiri dan aku merasa lega. Aku masih mempunyai teman-teman yang baik. Aku terus melantunkan doa supaya Allah memberikan aku jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku.

Beberapa minggu kemudian. Aku ketemu lagi dengan ibu kandungku. Tapi kali ini, aku melihat dia menangis. Untuk pertama kalinya, kakiku ini bisa melangkah menuju tempat ibuku. Melihatnya menangis membuatku merasakan sakit dihatiku seperti ditimpa beton. Aku begitu heran dan terkejut. Tanpa ragu-ragu aku pun menghampiri ibu dan bertanya,“ibu, kenapa?”. “Ibu tidak apa-apa,nak!. Hanya saja suami ibu sudah meninggal beberapa hari lalu. Ibu baru dapat informasi dari kepolisian. Setelah beberapa tahun lalu ibu melapor kepihak yang berwajib atas hilangnya suami ibu. Dan baru sekarang, ibu dikabari. Ibu mau pulang tapi kaki ibu tidak bisa berjalan. Kaki ibu terasa lemas kali.”,jawab Ibu. Hatiku terasa teriris mendengar berita itu. suami ibu itu, berarti ayahku. Aku juga ikut meneteskan air mata. Seakan gak percaya. Seorang ayah yang tidak pernah aku kenal sosoknya. Kini telah tiada. Dan saat itu, aku ingin sekali memeluk ibu.  Berbagi kesedihan dengannya. Ingin rasanya, aku melihat ayah untuk pertama dan terakhir kalinya.

Setelah kesedihan ibu meredah. Aku pun mengantar ibu pulang kerumahnya. Entah perasaan apa yang mesti aku rasakan. Sedih ataukah senang. Aku juga gak tau. Semuanya campur aduk. Setiba di rumah ibu, aku langsung pamit untuk pulang. ”Terimakasih,ya nak!”, teriak ibu. Aku hanya tersenyum mendengarnya. Rasa bahagia pun datang menghampiriku. setelah sekian lama tidak pernah mendengar suara ibu, kini aku bisa mendengar suara itu. Setibanya di panti, aku langsung menceritakan semuanya sama ibu panti dan teman karibku. Teman yang selalu memberikan dukungan kepadaku. Semuanya juga gak tau, mau merasakan senang atau sedih. Yang pasti, saat itu.. disatu sisi aku senang dan disisi lain aku sedih. Tidak lupa, aku menceritakannya kepada Allah. Berterimakasih pada Allah. Karena di balik, musibahnya aku mendapatkan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupku. Yaitu berbicara dengan ibu dan bisa mendengar suaranya.

Keesokkannya, ayah pun di makamkan. Aku tidak bisa melihat ayah. Karena saat itu, ibu belum tahu aku ini anaknya.Dari kejadian itu, aku dan ibu menjadi dekat. Seakan seorang anak yang sudah lama ingin bertemu dengan ibunya. Aku sering bermain ke rumah ibu dan ibu tidak masalah dengan itu. Ibu pernah bercerita tentang anaknya. Yahh.. anak yang tidak diakuinya sejak lahir. Dan ibu pernah bilang, kalo dia ingin sekali ketemu dengan anaknya dan minta maaf pada anaknya. Tapi dia gak tahu anaknya dimana, Karena panti asuhan kami telah pindah. Sejak itu, ibu berhenti mencariku.

*******

Dan akhirnya, aku beranikan diri untuk memberitahukan ibu. Kalau sebenarnya aku ini adalah anaknya. Ibu seakan gak percaya. Dan perlahan airmata ibu mulai keluar.. aku pun memeluknya,, lalu ibu berkata, “kenapa kamu tidak bilang dari awal?.. kenapa kamu baru bilang sekarang..”. aku tidak bisa berkata-kata dan aku tidak menjawab pertanyaan ibu. Aku hanya diam sambil memeluk ibu dengan erat. Setelah ibu tenang, aku pun menjelaskan sama ibu dan melepaskan pelukanku. Aku berkata, “aku gak mau bilang sama ibu, karena aku takut ibu tidak mengakuiku.. aku takut bu.. (air mataku pun jatuh). Waktu ibu menceritakan tentang anak ibu. Barulah keberanianku muncul bu.. maafin aku bu!”. Lalu ibu gantian memelukku dan berkata,”seharusnya ibu yang minta maaf sama kamu. Maafin ibu ya..”.

*******

Sejak kejadian itu, hubunganku sama ibu semakin baik dan ibu mau mengakui aku sebagai anaknya.  Tapi, aku belum bisa tinggal serumah dengan ibu. Mungkin beberapa minggu lagi, aku baru tinggal serumah dengan ibu. Setelah ibu menyetujui akan mengangkat teman karibku sebagai anaknya juga. Aku pun bertanya pada ibu dengan ragu-ragu,”kenapa beberapa tahun yang lalu ibu tidak mau mengakuiku?’’. Ibu diam sejenak dan menarik napas dalam-dalam,”maafin ibu ya,nak!. Ibu gak ada maksud untuk tidak ngakui kamu. Tapi, ibu harus melakukannya. Karena pekerjaan ibu menuntut begitu. Apalagi sejak ayah kamu hilang dan gak ada kabar”. Ibu menjelaskannya panjang lebar. Membuat aku bisa menerima alasannya. Dan akhirnya aku lega. Semua pertanyaanku sudah terjawab. Terima kasih ya Allah..  Senang rasanya. Aku,ibu dan teman karibku pun memulai hidup baru. Hidup yang bahagia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Hasil Wawancara Terhadap Guru

HASIL DISKUSI TEORI GESTALT

Apakah Strategi Guru tentang Gaya Mendalam/Dangkal dalam Dikotomi Gaya Belajar dan Berpikir Dapat Meningkatkan Kemampuan?