TINJAUAN
Kekuatan manusia untuk mengubah dirinya sendiri, yakni
untuk belajar, mungkin merupakan aspek yang paling mengesankan dari diri
manusia (Thorndike, 1931).
Belajar adalah proses multisegi yang biasanya dianggap
sesuatu yang biasa saja oleh individu sampai mereka mengalami kesulitan saat
menghadapi tugas yang kompleks.
Apa Peran
Belajar dalam Kehidupan Sehari-hari?
Ada dua peran belajar dalam kehidupan sehari-hari, yaitu: Pertama, bagi
individu studi tentang “belajar” dapat menjelaskan tentang pemerolehan berbagai
kemampuan dan keterampilan, tentang strategi untuk menjalankan peran di dunia,
serta tentang sikap dan nilai yang memandu tindakan seseorang. Kedua, belajar
adalah penting bagi masyarakat. Salah satu tujuannya, seperti yang dicatat oleh
Vygotsky (1924/1979), adalah mempelajari tentang nilai, bahasa, dan
perkembangan kultur – pengalaman yang diwariskan. Bayangkan, setiap generasi
hanya mampu mempelajari hal-hal secara sepotong-sepotong.
Seperti Apa
Upaya Prateoritis untuk Menjelaskan tentang Belajar?
Setiap
generasi mencari penjelasan tentang realitas masa saat mereka hidup. Namun,
pencarian pemahaman ini terbatas karena masih terbatasnya metode yang ada. Kurangnya
alat untuk mempelajari alam dan manusia menyebabkan lahirnya mitos-mitos
tentang dewa yang berkuasa yang bertanggung jawab atas terjadinya peristiwa
yang belum bisa dijelaskan dengan akal. Mitos-mitos yang ada seperti dewa laut
Poseidon menciptakan badan samudera pelan-pelan digantikan oleh kebijaksanaan
tradisional yang didasarkan pada pengalaman dan sistem keyakinan yang terstruktur
yang disebut filsafat. Kemudian riset dan teori menjadi metode untuk mencari
informasi tentang belajar.
Masalah dalam
kebijakan tradisional adalah informasi dapat ditafsirkan dengan cara yang
berbeda-beda. Sebaliknya, meski filsafat merupakan keyakinan yang terstruktur,
filsafat yang berbeda mencerminkan pandangan yang berbeda pula. Meski riset
dunia fisik dimulai sejak 1500-an, riset terhadap proses psikologis masih
ketinggalan. Kejadian-kejadian yang mengawali riset psikologi adalah munculnya
konsep empirisme ilmiah dan konsep perubahan dalam kemunculan spesies yang
diperkenalkan oleh Darwin. Riset terhadap proses psikologis dimulai di
laboratorium Wundt, dan beberapa tahun kemudian diikuti dengan pengumpulan data
di-setting pendidikan. Banyak dari
data itu ternyata tidak menambah pemahaman tentang praktik pendidikan. Pada saat
yang hampir sama, pada 1920-an, teori belajar awal mulai bermunculan untuk memberikan
kerangka bagi riset.
Apa Kriteria
untuk Teori Belajar?
Clark
Hull (1935), seorang teoritis behavioral,
mengidentifikasi tiga kriteria yang penting untuk setiap teori, yaitu: Pertama,
seperangkat asumsi yang jelas tentang aspek belajar yang dibahas oleh teori. Kedua, defenisi
yang jelas dari istilah penting. Ketiga, prinsip
spesifik yang diambil dari asumsi yang dapat diuji melalui riset. Keempat, yang hanya
berlaku untuk teori belajar, adalah teori yang harus menjelaskan dinamika
psikologis dasar dari kejadian yang memengaruhi belajar.
Peran teori belajar adalah berbeda dari peran filsafat
dan model pengajaran. Filsafat merepresantasikan sistem nilai umum dan membahas
term yang abstrak dan luas, seperti hakikat alam dan pengetahuan. Model pengajaran
mendeskripsikan lingkungan belajar tertentu, seperti belajar kooperatif dan
instruksi langsung. Sebaliknya, teori belajar fokus pada pedoman pengembangan
belajar.
Apa Fungsi
Teori Belajar?
Teori yang baik harus memenuhi fungsi umum dan khusus
yang berkaitan dengan belajar dan pembelajaran.
· Fungsi Umum
Suppes (1974) mengidentifikasi lima fungsi umum dari
teori. Pertama, sebagai kerangka untuk
melakukan riset. Kedua, memberikan
kerangka penataan informasi yang spesifik. Ketiga,
untuk mengungkapkan kompleksitas dan kekaburan suatu kejadian. Keempat, teori mungkin melahirkan
wawasan baru tentang situasi sehingga prinsip atau teori sebelumnya perlu
diperbaiki. Kelima, teori berguna
sebagai penjelasan atas suatu kejadian.
· Fungsi Khusus
Teori belajar yang baik memenuhi beberapa fungsi. Selain sebagai
kerangka riset, teori harus memberikan pemahaman baru tentang situasi, dan
berfungsi sebagai penjelasan kerja atas kejadian-kejadian. Ada empat fungsi
khusus. Pertama, sebagai pedoman
perencanaan instruksi. Kedua,
mengevaluasi produk untuk dipakai di kelas dan praktik belajar yang
berlangsung. Ketiga, mendiagnosa
masalah dalam instruksi di kelas. Keempat,
mengevaluasi riset berdasarkan teori.
Bagaimana
Kejadian Memengaruhi Perkembangan Teori Belajar?
Perkembangan
teori belajar dimulai pada abad ke-20 dengan tiga pendekatan berbasis
laboratorium. Pendekatan itu membuka jalan baru karena para teoritisi menguji
prinsip dasarnya dengan eksperimen. Kemudian masuknya Amerika Serikat dalam
Perang Dunia II menimbulkan isu pelatihan untuk operasi militer yang kompleks. Prioritas
ini, bersama dengan kurikulum pasca-Sputnik, memerlukan pemecahan isu pelajaran
di kelas yang menjadu prioritas untuk teori belajar.
Perhatian
pada aktivitas mental mulai mengemuka karena ada tiga kejadian: riset
komunikasi di awal Perang Dunia II, perkembangan komputer berkecepatan tinggi,
dan penjelasan “rule-following”
Chomsku tentang pemrosesan bahasa. Kapabilitas komputer dalam mengolah,
mengubah, dan menyimpan informasi menjadi basis untuk teori pemrosesan
informasi. Bruner dan yang lainnya menunjukkan bahwa penekanan teori itu telah
mengabaikan soal bagaimana pemelajar mengonstruksi makna dan memahami dunianya.
Setalah riset
kognisi mulai mendapat banyak perhatian, beberapa pihak mendeskripsikan periode
ini sebagai revolusi kognitif. Namun, fokus pada kognitif ini tidak
menghasilkan solusi baru untuk persoalan yang ada, dan masalah yang dihadapi
dalam behaviorisme tidak menyebabkan ditinggalkannya prinsip teori behavioral,
dan masalah itu bukan merupakan pencetus teori kognitif. Dengan kata lain,
psikologi mungkin dideskripsikan sebagai serangkaian tradisi riset yang
berbeda, bukan revolusi.
Teori-teori
belajar dan teori perkembangan kognitif Piaget adalah teori universal. Artinya,
mereka mengidentifikasi peristiwa-peristiwa esensial dari belajar atau
perkembangan kognitif yang berlaku universal – dalam setiap setting belajar dan
pada setiap siswa. Pada akhir abad 20-an, muncul perhatian pada faktor personal
dan sosial. Di antaranya adalah atribusi siswa pada kesuksesan dan kegagalan,
kecakapan diri dan orientasi tujuan dari kelas dan siswa.
Apa itu
Filsafat yang Disebut Kontruktivisme?
Pendapat
konstruktivis mengenai sifat pengetahuan banyak mereduksi atau mengesampingkan
peran realitas eksternal dalam produksi pengetahuan. Pendapat konstruktivis sosial
radikal mengatakan bahwa pengetahuan sepenuhnya adalah produk dari proses sosial.
Objek-objek adalah artefak sosial dan teori ilmiah hanya merefleksikan milieu
sosial tempat di mana teori muncul. Salah satu perspektif konstruktivis sosial
radikal berpendapat bahwa tugas menjelskan dunia adalah proses linguistik,
bukan proses kognitif.
Masalah
utama dalam konstruktivisme sosial radikal yang dikemukakan oleh sebagian
sarjana adalah: (a) kesimpulan tidak logis bahwa ilmuwan akan mengembangkan
teori yang berbeda jika mereka hidup di masyarakat yang berbeda; (b) penalaran
logis dan bukti ilmiah/fisik bukan kriteria untuk menerima suatu teori.
Implikasi
bagi ilmu pendidikan adalah: (a) jika pengetahuan adalah produk dari konvensi
sosial, maka pendidikan hanya perlu memastikan bahwa ide-ide akan sesuai dengan
kepentingan yang kuasa; (b) pengembangan kemampuan kritis siswa tidak
diperlukan jika tidak ada basis untuk menilai teori sebagai salah atau tidak
masuk akal.
Apa itu
Konstruktivisme Edukasional?
Faktor-faktor
yang memberi kontribusi pada kemunculan konstruktivisme dalam pendidikan
adalah: (a) “oversalling” komputer
sebagai metafora untuk belajar; (b) transmisi model belajar; (c) keprihatinan
bahwa siswa mendapatkan keterampilan dalam lingkungan yang terisolasi dan tidak
kontekstual, sehingga tidak mampu mengaplikasikan ilmunya untuk situasi dunia
nyata; (d) minat pada teori kultural-historis Vygotsky. Ada tiga
tipe konstruktivisme edukasional. Konstruktivisme
pribadi atau individual: (a) memandang semua pengetahuan sebagai konstruksi
manusia; (b) individu menciptakan pengetahuan dan mengonstruksi konsep; (c)
sudut pandang hanya bisa dinilai secara parsial berdasarkan korespondensinya
dengan norma yang diterima umum. Konstruktivisme
sosial percaya bahwa pengetahuan adalah transaksional, dikonstruksi secara
sosial, dan didistribusikan ke sesama partisipan. Konstruktivisme afilosofis, tidak menggunakan asumsi tentang sifat
pengetahuan. Ruang kelas mungkin bisa dianggap tempat belajar berorientasi pada
siswa, mengimplementasikan pendekatan holistik untuk literasi atau fokus pada
cara pembaca dan penulis menyusun makna.
Sumber : Gredler,
Margaret E. 2011.
Learning
and Instructiona: Teori dan Aplikasi.
Jakarta : Kencana.
Komentar